Indonesia Perkuat Larangan Ekspor Nikel dan Hilirisasi

 

Ilustrasi : Pengisian Daya Mobil Listrik

Nikel adalah bahan penting untuk produksi sebagian besar baterai yang dapat diisi ulang dan signifikansinya dalam rantai pasokan global telah meningkat secara dramatis seiring dengan upaya mencapai ambisi global net-zero. Mengingat Indonesia adalah produsen bijih nikel terbesar, Presiden Joko Widodo (Jokowi) optimistis memanfaatkan keunggulan ini untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri akibat larangan ekspor bijih nikel.


Penciptaan nilai dalam negeri disebut-sebut sebagai tujuan utama Jokowi. Di atas kertas, dampak dari larangan ekspor ini sangat mengejutkan. Hampir $14 miliar telah diinvestasikan dalam kapasitas pabrik peleburan nikel di Indonesia. Maluku Utara dan Sulawesi Tengah, provinsi hilir nikel di Indonesia, mengalami tingkat pertumbuhan dua digit pada tahun 2021, terutama didorong oleh investasi di industri ini. Jokowi menyoroti bagaimana larangan tersebut telah menyebabkan peningkatan 30 kali lipat dalam nilai ekspor nikel Indonesia.


Karena Indonesia adalah salah satu eksportir bijih nikel terbesar, larangan tersebut menyebabkan peningkatan harga nikel internasional dan turunannya. Investor smelter kini menikmati harga bijih nikel dalam negeri yang jauh lebih murah dan nilai ekspor logam nikel yang jauh lebih tinggi.


Mengakses pasar UE dan AS kemungkinan besar merupakan sebuah tantangan. Selain masalah lingkungan, keduanya memiliki kebijakan industrinya sendiri. Fakta bahwa Uni Eropa mengambil tindakan hukum terhadap Indonesia atas larangan ekspor nikel dan menang dengan dukungan AS tidak membantu.


Pasar Tiongkok yang lebih besar dan tumbuh lebih cepat merupakan pasar potensial bagi produksi EV Indonesia. Namun kendaraan listrik dengan penjualan tertinggi di Tiongkok menggunakan baterai bebas nikel. Kelangkaan nikel global menciptakan insentif bagi produsen untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan kandungan nikel dalam baterai mereka melalui inovasi teknologi.


Pemerintah Indonesia sedang mempertimbangkan untuk mengurangi pajak impor kendaraan listrik untuk mendorong adopsi kendaraan listrik di dalam negeri. Meskipun kebijakan ini dapat membantu tujuan adopsi kendaraan listrik di Indonesia, kebijakan ini bertentangan dengan tujuan hilirisasi nikel. Produsen kendaraan listrik di Indonesia harus bersaing dengan kendaraan listrik impor, yang dapat semakin mengurangi pangsa pasar kendaraan listrik yang diproduksi di dalam negeri dan membuat investor enggan membangun industri kendaraan listrik di Indonesia.


Dengan mempertimbangkan pengurangan pajak impor untuk kendaraan listrik, pemerintah Indonesia secara implisit mengakui bahwa membangun industri kendaraan listrik dalam negeri bertentangan dengan tujuan emisi nol bersih pada tahun 2060. Untuk saat ini, pilihan yang lebih baik adalah fokus pada skuter listrik, yang lebih mudah diproduksi dan lebih terjangkau bagi konsumen dalam negeri. Dengan memanfaatkan pasar ini terlebih dahulu, Indonesia secara bertahap dapat memperluas industri kendaraan listrik yang lebih besar.


Kebijakan perdagangan tetap menjadi kuncinya. Jika pemerintah Indonesia berpendapat bahwa Uni Eropa yang mengajukan gugatan terhadap Indonesia di WTO merupakan bentuk “ekspor paksa”, maka pemerintah Indonesia harus mengambil sikap diplomatis. Jika Indonesia ingin membatasi ekspornya, maka Indonesia tidak boleh mengeluh ketika Uni Eropa memberlakukan kontrol terhadap impornya dari Indonesia. Pemerintah Indonesia perlu memahami sifat timbal balik keanggotaan WTO jika ingin merundingkan masalah ini dengan mitranya.

Lebih baru Lebih lama